Rantai Diistribusi Obat Harus Dipangkas

02-02-2017 / KOMISI IX

 

Faktor penyebab terjadinya kekosongan obat dan vaksin di berbagai fasilitas kesehatan disebabkan karena panjangnya rantai distribusi obat. Hal itu dijelaskan Wakil Ketua Komisi IX DPR Ermalena pada RDPU dengan beberapa organisasi profesi yaitu IDI, IDAI, POGI, IBI, dan PAPDI di Gedung Nusantara I, DPR, Senaya, Jakarta, Rabu (01/02/2017).

 

“Masalah distribusi obat ini akan menjadi pembicaraan serius Panja Pengawsan Obat dan Vaksin. Kita akan segera bahas dengan pemerintah, karena jika tidak segera dibicarakan akan merugikan pasien, kekosongan obat ini tidak boleh terjadi,” kata Ermalena.

 

Politis PPP itu juga meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawsan Obat dan Makanan (BPOM) hadir dalam pendistribusian obat. Karena menurutnya pendistribusian obat ke daerah bisa dihitung supaya tidak terjadi kekosongan.

 

“Harusnya kan sudah bisa dihitung daerah dengan tingkat kesulitan tinggi, berapa waktu yang diperlukan untuk distribusi obat tersebut sampai ke faskes. Yang kita inginkan distribusi obat cepat dan aman, artinya aman dalam segi audit. Maka dari itu perlu ada simulasi untuk daerah yang tingkat kesulitan tinggi,”ujarnya.

 

Hal senada juga disampaikan Anggota Panja Pengawasan Peredaran Obat dan Vaksin Komisi IX DPR RI Ketut Sustiawan yang mengatakan, dari rapat ini terungkap ada mata rantai distribusi obat yang cukup panjang sehingga terjadi kelangkaan obat  di FKTP dan Rumah Sakit.

 

“Perlu adanya kebijakan yang terintergrasi, sebab IDI menyampaikan kurangnya koordinasi antar kelembagaan mulai dari premarket dan postmarket merupakan masalah kekosongan obat,”kata Ketut

 

Misalnya, lanjut politisi PDI-Perjuangan itu premarket diawasi BPOM kemudian postmarket diawasi Dirjen Kefarmasian dari Kemenkes. Padahal premarket dan postmasrket harusnya diawasi oleh badan yang sama yaitu BPOM karena Kemenkes tidak memiliki laboratorium.

 

“ Hal ini terkesan terjadinya tumpang tindih antar lembaga. Belum lagi antar Pemda dan Kemenkes tidak nyambung, dan rumah sakit juga terkadang tidak merencanakan apa yang dibutuhkan sehingga  sering kali tidak tepat sasaran. Maka dari itu harus ada sinegisitas dan penguatan tupoksi. Pengawasan obat jangan tumpang tindih, kita berharap BPOM proaktif,”pungkasnya. (rnm,mp)

BERITA TERKAIT
Program MBG Jangkau 20 Juta Penerima, Pemerintah Harus Serius Jawab Berbagai Keluhan
18-08-2025 / KOMISI IX
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menanggapi pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR 2025...
Nurhadi Ungkap Banyak Dapur Fiktif di Program MBG, BGN Diminta 'Bersih-Bersih’
14-08-2025 / KOMISI IX
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi menemukan adanya 'dapur fiktif' dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG),...
Kunjungi RSUP, Komisi IX Dorong Pemerataan Layanan Kesehatan di NTT
13-08-2025 / KOMISI IX
PARLEMENTARIA, Kupang - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris menyampaikan apresiasi atas pengelolaan RSUP dr. Ben Mboi Kupang...
Komisi IX Tegaskan Pentingnya Penyimpanan Memadai di Dapur MBG
13-08-2025 / KOMISI IX
PARLEMENTARIA, Gorontalo - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, menilai bahwa tidak semua dapur Makan Bergizi Gratis (MBG)...